Bantul, jolalijogja.com – Masyarakat Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, setiap tahun, pada hari Minggu Pahing di Bulan Besar, menurut kalender Jawa atau Islam, menghidupkan khazanah budayanya melalui rangkaian upacara yang dikenal sebagai Jodhangan.
Jodhang, kendaraan khusus untuk membawa hasil bumi, menjadi simbol perayaan. Di dalamnya beraneka ragam hasil bumi, seperti jagung, pare, terong, dan lain-lain, ditata dengan indah. Semuanya menggambarkan keragaman rezeki dari Sang Pencipta. Dua belas orang yang membentuk empat tim di setiap sudut Jodhang mengangkatnya dengan hati penuh syukur.
Tradisi Jodhangan tidak hanya menjadi perayaan atas kelimpahan hasil bumi, tetapi juga sebuah penghormatan kepada Warisan Agung Walisanga. Termasuk untuk mengenang kesejahteraan dan keberkahan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Di tengah suasana riuh rendah kegiatan Jodhangan, tidak ketinggalan seni dan budaya tampil dalam bentuk Tarian Campursari dan Jathilan, serta pentas wayang kulit.
Meski begitu, Tradisi Jodhangan juga meupakan panggung bagi nilai-nilai keagamaan, gotong-royong, kesetiakawanan, musyawarah, dan pengendalian sosial yang tercermin dengan indah. Warga Desa Selopamioro, melalui ritual tahlilan dan doa bersama, menunjukkan rasa spiritualitas dan keterhubungan dengan Tuhan.
Saat itu pula, kegiatan gotong-royong menjadi nyata saat warga membersihkan makam, jalan dusun, dan lokasi upacara secara bersama-sama. Semangat ini juga mendorong rasa kesetiakawanan yang kuat, karena semua lapisan masyarakat, tanpa pandang bulu berpartisipasi dalam pembuatan gunungan dan ubarampe sesaji.
Dan yang tidak kalah penting, Tradisi Jodhangan ini dipertahankan melalui musyawarah. Sebelumnya, para sesepuh dan pemuka masyarakat membicarakan detail pelaksanaan tradisi ini.
Jodhangan juga memainkan peran dalam pengendalian sosial. Melalui upacara ini, masyarakat menjaga hubungan harmonis dengan leluhur dan penguasa sambil memperkuat ikatan dengan adat-istiadat mereka. Tradisi Jodhangan menjunjung tinggi warisan lokal dan merawatnya dengan penuh dedikasi.
Tradisi Jodhangan akarnya dimulai dari Dusun Srunggo. Awalnya berupa Tradisi Merti Dhusun yang menggambarkan upacara bersyukur atas hasil panen. Secara perlahan, masyarakat dan pemerintah setempat mengubahnya menjadi Jodhangan. Ada penambahan dimensi baru pada makna dan pesan di balik tradisi ini.
Konon, Masyarakat Dusun Srunggo percaya bahwa dengan mengadakan Jodhangan, mereka bukan hanya mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Tapi juga bentuk permohonan berkah dan keselamatan untuk masa yang akan datang.
Tradisi ini mengambil tempat di sekitar Gua Cerme yang dianggap suci oleh masyarakat setempat. Tempat suci ini juga dikenal sebagai rumah spiritual para Walisanga yang meninggalkan jejak kuat dalam sejarah lokal.
Selain itu, dalam sebuah mitos diceritakan Baginda Raja Harnaya Rendra memohon bantuan spiritual ke Resi Hadidari ketika raknyatnya dilanda penyakit dan kelaparan. Dengan bimbingan Sang Resi masyarakat melaksanakan upacara bersih desa dan merti dhusun sebagai ungkapan rasa syukur.
Karena itu, oleh masyarakat, sekitar Gua Cerme dianggap sebagai tempat suci yang merangkul tiga aspek penting, yaitu agama, budaya dan pariwisata.
Meski digelar setiap tahun dengan pola yang sama, Jodhangan tidak pernah kehilangan pesonanya. Karena di dalamnya ada harapan, syukur, dan semangat kebersamaan. Dan Masyarakat Desa Selopamioro tidak hanya sekadar merayakan hasil panen. Mereka juga mengukir kisah tentang kesatuan, keyakinan, dan rasa hormat terhadap warisan leluhur. (dk)
Sumber : Laman bantulcreativecity.id